Review Tron Ares: Layak Ditonton Penggemar Tron Meski Kurang Sempurna
Inilah pembahasan mengenai review Tron Ares di mana film ini sangat layak ditonton oleh penggemar meskipun di beberapa poin film ini nampak lemah.
Berita | 08 October
Oleh Imadudin R A
Review Tron Ares kali ini membedah sekuel ketiga dari waralaba legendaris Tron yang telah menunggu selama lebih dari empat dekade untuk kembali beraksi di layar lebar. Disutradarai oleh Joachim Rønning, film ini berusaha melanjutkan semesta kompleks antara manusia dan dunia digital yang telah dibangun sejak Tron (1982) karya Steven Lisberger dan Tron: Legacy (2010) karya Joseph Kosinski.
Namun, di balik ambisi besarnya dan teknologi visual yang memanjakan mata, Tron: Ares justru sering kehilangan arah, terutama dalam menggali makna filosofis yang dulu menjadi kekuatan utama waralaba ini.
Cerita Ambisius, Tapi Kurang Jiwa
Dalam Tron: Ares, dunia digital dan dunia nyata kini benar-benar bersinggungan. Julian Dillinger (Evan Peters), cucu dari villain klasik Ed Dillinger, menciptakan sebuah laser mutakhir yang mampu memproyeksikan program komputer ke dunia nyata melalui printer 3D berteknologi tinggi.
Dari sinilah lahir Ares (Jared Leto), program keamanan yang bisa hadir dalam wujud manusia hidup, lengkap dengan kulit, darah, dan kekuatan super. Namun, ciptaan tersebut hanya mampu bertahan selama 29 menit sebelum hancur menjadi debu.
Obsesi Julian untuk menemukan Permanence Code, kode legendaris yang memungkinkan ciptaannya bertahan selamanya, menjadi inti dari konflik film ini. Di sisi lain, ada Eve Kim (Greta Lee), CEO ENCOM yang juga berusaha menemukan kode yang sama, namun dengan tujuan yang lebih mulia, menciptakan kehidupan baru dan sumber pangan yang bisa mengatasi kelaparan dunia. Dua raksasa teknologi ini pun bersaing untuk menguasai kekuatan yang bisa mengubah masa depan umat manusia.
Sayangnya, ide sebesar ini tidak diimbangi dengan eksekusi yang kuat. Film terlalu sibuk menjelaskan cara kerja mesin, laser, dan program digital hingga melupakan esensi emosional di baliknya. Alih-alih membawa penonton merenung tentang relasi antara pencipta dan ciptaan seperti di Tron: Legacy, Ares lebih terasa seperti film presentasi sains yang berlebihan.
Setiap dialog dipenuhi dengan penjelasan teknis, setiap adegan dibebani oleh eksposisi. Penonton dibuat lebih sibuk memahami logika ilmiah ketimbang menikmati konflik batin para karakternya. Padahal, kisah tentang makhluk buatan yang ingin merdeka dari penciptanya bisa menjadi refleksi mendalam tentang eksistensi dan etika dalam era kecerdasan buatan.
Aksi dan Visual Spektakuler, Musik Jadi Penyelamat
Walau lemah dari sisi naskah, Tron: Ares tetap menunjukkan kekuatan utama yang selalu membuat seri ini menonjol: visual yang memukau dan desain futuristik yang luar biasa. Joachim Rønning membawa estetika neon khas Tron ke level baru.
Kota yang berpendar, kendaraan bercahaya, dan dunia digital dengan tekstur realistik membuat film ini tampil sebagai salah satu pencapaian visual terbaik Disney dalam dekade terakhir.
Salah satu momen terbaiknya adalah adegan balapan Light Cycle yang kini terjadi di dunia nyata. Dengan koreografi yang menegangkan, efek visual yang brilian, dan ritme musik yang menghentak, adegan ini sukses menghadirkan nostalgia bagi penggemar lama sekaligus keajaiban sinematik bagi penonton baru.
Selain visual, kekuatan terbesar film ini datang dari musik. Soundtrack garapan Nine Inch Nails menjadi jantung atmosfer Tron: Ares. Suara elektronik yang intens dan distorsi khas industrial memberi dimensi emosional yang bahkan naskah filmnya gagal capai.
Banyak penggemar menganggap bahwa soundtrack ini bisa dinikmati secara terpisah, bahkan lebih “hidup” daripada ceritanya sendiri.
Namun, kekuatan teknis tersebut tidak selalu diimbangi oleh performa para aktor. Jared Leto sebagai Ares tampil dengan gaya khasnya: dingin, misterius, dan penuh gestur teatrikal. Sayangnya, karakternya terasa kurang “manusiawi”.
Ares seharusnya menjadi simbol pencarian identitas dan kebebasan bagi makhluk digital, namun Leto gagal menunjukkan kedalaman emosional di balik kode dan data yang membentuknya.
Sebaliknya, Jodie Turner-Smith sebagai Athena berhasil mencuri perhatian. Sebagai program lain yang sering dimanifestasikan ke dunia nyata, Athena tampil agresif, tegas, dan menolak segala bentuk keraguan. Ia adalah cerminan sisi gelap dari Ares, makhluk yang menerima perintah sebagai takdirnya dan tak pernah mempertanyakan kehendak penciptanya. Dalam dirinya, kita bisa merasakan konflik moral yang lebih menarik daripada karakter utama.
Sayangnya, karakter lain seperti Eve Kim (Greta Lee) dan Julian Dillinger (Evan Peters) tidak dikembangkan cukup dalam.
Eve digambarkan terlalu datar, hanya dibebani kesedihan karena kematian saudara perempuannya, sementara Julian terasa seperti karikatur “techbro” yang tamak dan narsis. Bahkan aktris sekelas Gillian Anderson hanya muncul sebentar sebagai ibu Julian, tanpa ruang untuk memberi bobot emosional yang berarti.
Pesan Tentang AI dan Kemanusiaan yang Kurang Tajam
Salah satu daya tarik terbesar Tron sejak awal adalah pertanyaannya tentang batas antara manusia dan mesin. Di dunia yang diciptakan oleh kode dan program, apakah entitas digital bisa dianggap “hidup”? Apakah penciptanya berhak menghapus mereka begitu saja? Sayangnya, Tron: Ares tidak melangkah cukup jauh untuk mengeksplorasi pertanyaan-pertanyaan itu.
Film ini mencoba menegaskan kembali pesan klasik: teknologi bukan baik atau jahat, semuanya tergantung pada manusia yang menggunakannya. Namun, pesan itu terasa usang dalam konteks masa kini, di mana isu kecerdasan buatan sudah bukan lagi sekadar fiksi ilmiah. Tron: Ares berusaha menjadi relevan, tapi tidak cukup berani untuk mengkritik realitas dunia modern yang kini benar-benar hidup berdampingan dengan AI.
Ketika Ares mulai menyadari bahwa dirinya hanyalah alat yang diciptakan untuk tujuan tertentu, muncul percikan refleksi yang seharusnya bisa menjadi inti emosional film ini. Sayangnya, momen itu muncul terlambat, dan motivasinya terasa kabur. Ia hanya menyebut ingin “tidak menjadi budak lagi” tanpa pembangunan karakter yang kuat sebelumnya. Padahal, di situlah potensi besar film ini seharusnya bersinar: kisah pencarian kebebasan dalam dunia buatan.
Cameo Jeff Bridges sebagai Kevin Flynn memberi sedikit nostalgia dan koneksi emosional ke dua film sebelumnya. Kehadirannya membawa kesan bahwa Tron: Ares dibuat oleh orang-orang yang benar-benar mencintai semestanya. Namun, nostalgia saja tidak cukup untuk menutupi kurangnya kedalaman naratif.
Secara keseluruhan, Review Tron Ares memperlihatkan kontras besar antara ambisi dan hasil. Di satu sisi, film ini adalah tontonan yang indah dan megah, sebuah pesta visual dan musikal yang menghidupkan kembali dunia Tron dengan teknologi sinematografi modern. Namun di sisi lain, film ini terasa kehilangan ruh yang dulu membuat Tron begitu unik: perpaduan antara imajinasi dan refleksi filosofis.
Sebagai film aksi, Tron: Ares bekerja dengan baik. Adegan balapan, efek visual, dan soundtrack-nya akan membuat penonton terpukau. Namun sebagai kisah fiksi ilmiah yang seharusnya menantang pikiran, film ini gagal memberikan kedalaman emosional dan moral yang diharapkan.
Bagi penggemar lama, Tron: Ares tetap layak disaksikan sebagai nostalgia, pengingat akan dunia digital bercahaya biru yang dulu memukau generasi 1980-an. Tapi bagi penonton baru, film ini mungkin terasa seperti eksperimen teknologi tanpa jiwa manusia di dalamnya.
Pada akhirnya, Tron: Ares membuktikan bahwa visual spektakuler dan efek canggih tidak cukup untuk membuat film hidup. Di tengah era di mana AI menjadi bagian nyata dari dunia kita, film ini justru terasa seperti cermin dingin dari masa depan: indah, futuristik, tapi kehilangan sentuhan manusia.
Jangan ketinggalan informasi penting mengenai film Netflix terbaru hanya di Dunia Games. Klik di sini untuk informasi terbarunya ya.
Nantikan informasi-informasi menarik lainnya dan jangan lupa untuk ikuti Facebook dan Instagram Dunia Games ya. Kamu juga bisa dapatkan voucher game untuk Mobile Legends dengan harga menarik hanya di Top-up Dunia Games.
Komentar ( 0 )
Please login to write a document.